Entri Populer

Selasa, 26 April 2011

Sedekahku

Oleh : Novrizal


“Ray, Ray, Ray! Bangun!” Dengan suara keras Roni bangunkan dari tidurku menjelang azan subuh. Roni adalah teman yang sekamarku.

“Hmm... ya, ya!” Sahutku agak sedikit gusar. Aku memaksakan untuk bangun, sekaligus mengambil hp yang disandarkan di dinding kamar semalam.

”Ih, mana handphone-ku?”

“Loh, dimana handphone-mu?”

“Aku nggak tahu, Ron. Ih! jam dan dompetku juga hilang? Padahal uangnya nggak ada, diembat juga bah. Tapi... isinya itu yang penting!” Sambil merogo tangan dan kantung celana, aku terlihat kaku. Bibir sedikit bergetar, seolah-olah seperti mimpi buruk yang melanda.

”Emang kenapa, Ray?” Roni kelihatan sangat serius sedang memerhatikanku.

”Kartu identitasku ada di dompet, termasuk kartu ATM!” Demikianlah aku dan Roni yang kalut terhadap barang-barang yang hilang itu. Tiba-tiba, Doni masuk ke kamar kami. Dia adalah teman se-kos yang kamarnya berhadapan dengan kami.

“Kenapa, kelen? Doni yang penasaran melihat kami seperti kesurupan; dia ingin mengetahui apa yang telah terjadi pada kami.

”Barang-barangku dicuri, Don!”

”Loh, Kok... jadi gimana tuh? Hmm... ya-ya-ya, aku tau sekarang!” Sepertinya Doni memikirkan sesuatu.

“Tau, apa? Kenapa, Don? Apa itu?” Aku memaksa Doni untuk menjawab pertanyaan itu.

”Kelen tau, nggak? akhir-akhir ini, Udin kelihatan aneh.” Imbuh Doni, saat teman-teman se-kos lainnya mulai berdatangan dan berkumpul di kamar kami. Aku terkejut menatap wajahnya serius karena tidak merasakan hal yang sama seperti yang dikatakannya. Namun, Aku tetap berpikir tidak mungkin dia pelakunya. Memang Udin orangnya pendiam dan jarang nongkrong bersama. Beberapa saat kemudian, aku keluar meninggalkan mereka. Pada saat itu, aku bertanya-tanya dalam hati apa benar ada kaitannya dengan Udin atau tidak.

“Tapi anehnya, kenapa Udin selalu tanya kamar-kamar yang terkunci? Nggak seperti biasa. Lalu, apa pedulinya? Kami aja nggak terlalu peduli soal itu.” Sambil berjalan aku menuju Kenanga (kafe di samping kampus). Namun, perasaan kalut tetap terbawa oleh sikapku.

“Hei, mau kemana, Ray? Sini dulu bentar!” Sahut seniorku di kampus yang tengah duduk di kenanga.

”Oh, iya Bang...”

”Kok kusut gitu mukamu? Ada masalah apa nih?”

”Nggak ada, Bang! Aku cuma kesal aja, aku kecolongan di kos!”

”Loh, emang kapan hilangnya?”

”Tadi subuh, Bang!”

Cerita demi cerita, aku menjelaskan semua kejadian itu padanya. Dia pun dengan teliti menyimak penjelasan musibah itu.

”Jadi, karena itu Bapakmu datang?” Tanyanya lagi, mungkin kurang puas mendengar pejelasan itu. Aku pun melihat wajahnya yang penuh kesal dan kening yang agak mengerut.

”Tapi, dari mana Abang tau? Kebetulan Bapakku tiba dari binjai, dia mau istirahat di kos. Awalnya dia nggak tahu, tapi aku sudah cerita semua kejadiannya.” Dengan suasana haru, aku menjelaskan sambil mengingat-ingat pada saat malam sebelum kejadian terjadi.

“Seandainya aku lama di warnet, pasti aku nggak kecolongan, Bang!” Dengan nada menyesal, aku berkata dengan begitu yakin padanya.

Sempat juga kukirim pesan ke nomor handphone-ku itu, entah itu masih aktif atau tidak. Yang jelas pada saat itu aku katakan:

“Tolong! kembalikan dompetku dan isinya. Lemparkan aja di halaman kos, kalo nggak mau ada yang liat! Kalo mau ambil hp-nya silahkan, aku cuma minta tolong isi yang ada di dompetku dikembalikan...”

Dengan demikian, berharap si pelaku terenyuh untuk mengmbalikannya. Pada saat yang sama, teman-teman sekelas bertanya padaku. Mereka kecewa, karena tidak memberitahukan kejadian itu sebelumnya. Pantaslah seniorku itu tahu kalau Bapakku datang, ternyata beritanya sudah menyebar. Walau demikian, aku merasa bersyukur memiliki teman-teman yang sangat perhatian. Setelah itu, aku beranjak ke mushola kampus.

Usai shalat, seorang senior yang mengenakan jilbab menghampiriku lalu berkata:

“Udah... Ikhlaskan aja, Dek! Anggap aja sedekah, pasti ada hikmahnya dari kejadian itu.” Sarannya yang halus, serta perkataan yang penuh dengan kelembutan sambil berlalu.

“Aku bingung! Ikhlas atau nggak?” Aku bergumam sambil mengingat barang-barangku yang hilang. Kemudian aku bergegas mencuci muka. Aku tidak bisa tenang karena terus-terusan membayangi kejadian itu.

“Ya Allah! Apakah ini cobaan yang Engkau tujukan padaku? Apa mungkin aku kurang sedekah? Jika ini yang terbaik, aku rela atas kejadian itu ya Allah!” Aku merenung sambil berucap dalam hati.

Aku mulai berusaha berpikir tenang pada saat itu. Siapa yang mengambil yang bukan haknya, biarlah itu menjadi urusannya. Tidak lupa ku sertakan doa, agar pelakunya segera menyesali perbuatannya. Aku yakin itu pasti ada hikmahnya, supaya lebih berhati-hati. Kata syukurku terucap. Terenyuh diriku dalam suasana hening di mushola dengan perasaan legah.

Di Dalam Gerbong

Oleh: Novrizal


Tut-tut-tut… Kereta api telah tiba. Selang beberapa menit, semua orang-orang yang berada di dalam bergegas turun di setasiun pusat daerah Medan. Sementara, orang-orang yang menunggu kedatangannya langsung berduyun-duyun masuk ke dalam gerbong. “Hore! akhirnya naik kereta api!” Seru Runi sembari mencari tempat duduk, yaitu salah satu di antara kami dari delapan orang yang ikut berlibur ke Kisaran. Selain ratusan penumpang lain, muatan gerbong yang kami tumpangi disusupi oleh puluhan pedagang keliling kala itu. Di antaranya penjual mie, pecal, pulsa, minuman ringan, kerupuk, lemang, dodol, dan lainnya yang siap menjajakan dagangannya. Ketika itu, aku duduk di kursi yang dapat diduduki oleh tiga orang sejejeran. Ada dua orang gadis di sebelahku, mereka adalah Runi dan Nurul yang berjilbab, sama-sama mengenakan baju kaos lengan panjang serta celana jeans. Runi merupakan seorang gadis yang periang, cantik, tidak menyolok jika mempunyai masalah. Berbeda dengan Nurul, dia adalah gadis yang cukup cerdas, lincah, berpengalaman pulang pergi dengan menggunakan jasa angkutan duo rel. Maka dari itu, kami menyebutnya sang juru kunci kereta api.

Kemudian, lima orang lagi ada di depan kursi kami yang saling berhadapan. Sederetan mereka adalah Cini, seorang teman bercirikan body yang terlalu langsing dan warna kulit yang agak gelap, orangnya sedikit pendiam. Berikutnya Ayu dengan sikapnya yang polos, biasanya sering menjadi bahan gurauan kawan-kawan karena kepolosannya. Selanjutnya, Puput dan Tama. Mereka adalah duo sejati dimana ada Tama di situ ada Puput. Dan, yang terakhir adalah Teriyan, teman kami yang satu ini berbadan kecil dan memiliki tinggi kurang dari satu setengah meter. Dia berdiri di samping Tama karena tempat yang tersediakan tidak cukup untuk lima orang, beruntung Tama masih dapat ujung kursi yang bisa didudukinya.

Hampir setengah jam kami duduk di dalam gerbong, akhirnya kereta api mulai bergerak perlahan-lahan. Tut-tut-tut... Bunyi suaranya menandakan kereta api siap meninggalkan setasiun pusat. Sungguh menyenangkan, kami dimanjakan dengan enjut-enjutan di dalam gerbong saat perjalanan. Sepertinya kami kembali ke masa kanak-kanak, dimana kami mengenang saat menaiki kuda-kudaan yang bergoyang naik-turun di tempat. Hmm... Terlalu manis untuk dilupakan masa-masa seperti itu.

Di ruang yang terbilang pengap dan beraneka aroma bau serta wewangian, dua orang petugas kereta api mendekati kami dan merazia tiket. Pasti tahu akibatnya, kalau ketahuan tidak punya tiket, bisa-bisa kami ditendang keluar atau bisa saja kompromi “tawar-menawar” mencari kesepakatan, seperti tidak tahu sajalah budaya negeri ini. Untunglah, tiket kami itu tersimpan dengan baik oleh Puput. Tiba-tiba, terdengar suara-suara yang memanggil. Semakin dekat, lebih dekat lagi. Oh! Ternyata salah satu pedagang menghampiri kami.

”Ayam goreng! Burung goreng! Telur puyuh...!” Demikianlah seorang pedagang menyorakan jajanannya, bermandikan peluh yang menghiasi wajahnya sedang melintasi kami.
”Burung goreng berapa, Bu?”
”Lima belas ribu dapat empat, Dek!”
”Bah! mahal kali! Nggak bisa sepuluh ribu dapat empat ya, Bu?”
”Nggak bisalah... Mau dapat berapa lagi, dah harga agen nih!” Sambil lalu, pedagang itu mengomel karena tawaran yang dia terima tidak seimbang.

”Oh, ya udah!” Ketus Puput yang berbadan tambun dan buntal, agak sedikit rewel bila ada orang yang membuatnya kesal. Berkali-kali dia gagal menawar harga, untuk dapat membeli burung goreng. Akhirnya, dia membeli juga dengan harga awal dari pedagang. Walau penjualnya berbeda, tapi harganya semua sama, sebab mereka jualan dari agen yang sama.

Kelihatan Tama dan Teriyan sedang berbisik-bisik, entah apa gerangan sehingga keadaan menjadi lebih hiruk setelah menyaksikan aksi tawar-menawar antara Puput dan pedagang keliling tadi.

”Kayaknya kelen bicara sesuatu, ada apa, Tam?” Sedikit penasaran aku mengacaukan mereka.

”Nggak ada kok!” jawabnya sedikit terperangah menatapku. Tama adalah teman lelaki yang kurang banyak bicara, tetapi dia amat pandai mengambil hati seorang gadis, yaitu si Puput. Sementara, Teriyan tersenyum kecil saat aku mengganggu mereka yang tengah asyik berbisik-bisik.

”Aku bingung nih... Cewek mana yang dibidik Teriyan. Pasalnya di samping kananku ada cewek, warna bajunya abu-abu. Di seberang belakangmu ada cewek juga, sama pulak warna bajunya. Acem tuh, Nuh?” Begitulah dia menyebut namaku, sedang menjelaskan apa yang dibisik-bisikan Teriyan kepadanya. Aku baru sadar, bahwa Teriyan telah membisikan kepada Tama, seorang wanita yang telah ditangkap oleh matanya.

”Ha-ha-ha...” Aku dan Tama tertawa kejang. Kami tertawa terbahak-bahak, rupanya salah satu wanita yang warna bajunya sama itu adalah seorang nenek.
”Wah! ternyata selera kau nenek-nenek ya, Yan? Hmm... yang mana nih? Ujung seberang atau di sebelah nih? Ha-ha-ha...” Sambil tertawa, ternyata tidak hanya aku, teman-teman yang lain pada ikut tertawa mendengar celotehan kami.

”Bukan gitu, Nuh! Aku suka aja liatnya, yang diseberang belakang itulah orangnya!” Kelihatan sekali, Teriyan agak malu-malu menunjuk wanita itu.

”Hoooo, yang itu rupanya! Pantaslah mata kau nggak berkedip kalo liat cewek itu. Apa perlu dinyanyikan sebuah lagu supaya kau bisa kenalan, Yan?” Aku mengguraui Teriyan yang sedang jatuh cinta dengan seorang wanita di dalam gerbong. Pucuk di cinta ulam pun tiba, kata pepatah lama tatkala kami mendengar sebuah tembang, suaranya semakin mendekati telinga kami.

”Ho... woo... hoo... berikan cintamu juga sayangmu, percaya padaku, ku kan menjagamu hingga akhir waktu menjemputku....” Terdengar lirik lagu dari group band Ungu yang dinyanyikan oleh sekelompok pengamen, semakin lama suara itu semakin mendekat. Sungguh unik bagiku, ternyata di setiap ruas gerbong ada juga pengamennya. Tak heran, jika orang-orang yang berlalu lalang di dalam gerbong berdesak-desakan. Dengan Lantunan lagu itu, tidak membuat Nurul, Cini dan Ayu bergeming mendengarkan, malah mereka teramat asyik bergosip dan tertawa. Begitu juga dengan Puput, malahan tengah asyik makan burung gorengnya itu. Namun, lantunan lagu itu membuat Runi tertidur dan bersandar di bahuku. Amboi! Sungguh nyaman dan membahagiakan melihat Runi seperti itu. Bergerak langkah Teriyan meninggalkan tempat, kelihatannya dia tidak mau diusik lagi. Aku tak tahu entah mengapa, mungkin lantunan lagu itu membuatnya malu saat mata kami menatap wajahnya.

”Loh! mau kemana, Yan?” Tanya Tama dengan tegas saat para pengamen masih tetap bernyanyi ditempat kami.

”Nggak kok! Cuma jalan-jalan aja!” Jawabnya sambil berlalu hingga dia tak kelihatan.

Tak lama, para pengamen berlalu meninggalkan tempat kami. Gema suara dan alat musiknya pun semakin lama semakin menghilang. Lalu, aku memerhatikan di sekitar kami. Banyak wajah-wajah yang kelelahan, seorang ibu yang menidurkan anaknya, dan ada juga yang mulai terkantuk ketika mendapat sandaran yang pas. Aku mulai merasakan hal yang bercampur aduk, sungguh penat, juga betapa nyamannya jika tidak ada kebisingan di sekitarku. Selalu begitu, di setiap setasiun kecil kereta api berhenti, banyak penumpang yang keluar dan banyak pula penumpang yang masuk ke dalam gerbong. Ditambah lagi para pedagang keliling, mereka bersorak-sorak menjajakan dagangannya sehingga membuat suasana riuh. Beginikah suasana di dalam gerbong kereta api? Berjam-jam kami duduk, menunggu untuk sampai tujuan. Akhirnya, aku duduk tertidur di dalam gerbong.