Entri Populer

Selasa, 28 Desember 2010

Plagiator Bukan “Gladiator”

Oleh: Novrizal


Suatu karya memang mahal harganya, bahkan ada juga yang tak ternilai harganya bagi si pemilik karya. Apapun bentuknya, sebab karya dihasilkan oleh sebuah terobosan dan penemuan serta imajinasi yang bersumber dari kekayaan intelektualitas. Kita bangga melihat orang yang menghasilkan sebuah karya karena kegigihannya. Sungguh tak elok, jika ada sebagian oknum yang mengakui hasil karyanya sedangkan Ia menyaplok dari hasil karya orang lain. Plagiator, itulah sebutan bagi oknum yang mencuri hasil karya orang lain. Oknum yang seperti itu hanya bisa menyaplok tapi tidak mau berusaha menghasilkan karyanya sendiri. Betapa pedih dan kesalnya seseorang yang hasil karyanya disalahgunakan apalagi diplagiatkan. Plagiator adalah sifat penakut yang dimiliki oknum yang tidak kreatif. Untuk era sekarang, seharusnya kita dituntut untuk menjadi seorang ”gladiator” yang bukan seorang plagiator. Seperti ”gladiator” era sekarang lebih canggih dan dahsyat, yaitu bukan seorang petarung dengan pedang, panah, dan kudanya yang bertarung untuk mempertahankan hidup dihadapan para penonton, melainkan petarung yang ”bertarung” lewat ide, pemikiran, dan karyanya untuk mempertahankan eksistensi peradaban.

Ada banyak contoh kasus, dimana sebuah karya yang telah dimanipulasi dan dipoles sedemikian rupa, sehingga hal itu menunjukkan seolah-olah buah pikirannya yang tertuang dalam menghasilkan sebuah karya. Ada juga suatu tindakan yang mengkritik, menghujat, dan menghakimi sebuah karya, padahal mereka belum tentu bisa melakukan seperti karya yang telah mereka komentari. Hal ini merupakan suatu proses alamiah, dimana suatu kualitas ada yang baik dan juga ada yang kurang baik. Namun proses kualitas suatu karya tidaklah hanya berhenti sampai di situ, tapi sampai sejauhmana mengimplementasikan dan mengapresiasikan hasilnya dengan tetap berusaha untuk mencapai kepuasan yang tak terbatas itu. Untuk itu, sangat lazim ketika suatu karya yang dianggap masih ”ecek-ecek”, tetapi pada suatu hari berubah menjadi sebuah maha karya, karena proses itulah yang membuat seorang menjadi ”gladiator” masa kini.

Perang Karya
Sebenarnya hal demikian dapat menjadi sebuah nasehat, akan tetapi tidak salah jika adanya semangat kreatifitas dengan menunjukan suatu hal yang dimiliki untuk diakui dan dicontoh. ”Perang karya”, tindakan ini mungkin sudah ada berabad-abad yang lalu, tetapi lebih menjurus ke arah positif, dimana pada saat itu bermunculan tokoh-tokoh yang berlomba-lomba memberikan pengaruh dan kontribusinya terhadap peradaban dunia dengan berbagai karya-karyanya, seperti Ibnu Rusyid atau Averrose sebutan lidah spanyol, dengan karyanya dalam bidang ilmu matematika, filsafat, astronomi, dan kedokteran. Ibnu Syina atau Avisciena sebutan dunia barat, dalam bidang ilmu kedokteran. Ar-Razi atau Razhes sebutan dunia barat, dalam bidang penyembuh ilmu kejiwaan. Al-Khowarizmi, beliau adalah bapak Aljabar, berkat beliau kita dapat mengenal ilmu Aljabar dan beliau pulalah yang menemukan angka nol, serta beliau dikenal dengan sebutan Alghorizm yang selalu dipakai dalam matematika sampai sekarang dengan sebutan Algoritma, dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya. Dengan pengaruh yang mengarah pada kemajuan peradaban dunia ini, kemudian nama-nama mereka diabadikan hingga saat ini.

Khusus di negeri ini pun juga memiliki tokoh-tokoh revolusioner yang juga religius dengan mengantarkan karyanya seperti sebutan Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, K.H. Ahmad Dahlan, Syaikh Hasyim Asy’ari, Buya HAMKA, dan masih banyak lainnya pada masa-masa kolonialisme. Mereka adalah teladan dalam pemikiran dan memiliki imajinasi dalam menghasilkan sebuah maha karya yang hingga saat ini nama mereka menghiasi buku-buku yang mencatat sejarah perjalanannya.

Tidak mustahil bagi generasi saat ini untuk menghasilkan sebuah karya nyata dari buah hasil imajinatif, inspiratif, serta pemikiran yang menunjang suatu eksistensi peradaban di negeri ini, bukan dengan cara mengambil karya orang untuk di populerkan dan memanfaatkan aji mumpung. Banyak jenis plagiator-plagiator dalam menyaplok hasil karya, seperti dalam bentuk tulisan, karya ilmiah, syair, lirik, lukisan, bahkan sampai ke tingkat komersialisasi.

Untuk itu, ”perang karya” diwujudkan agar para kaum kreatif, tidak hanya kreatif dalam menyaplok hasil karya orang lain, akan tetapi kreatif dalam ”menyaplok” ide, imajinasi, serta intelektualitasnya sendiri untuk dijadikan sebuah karyanya yang sangat orisinil. Untuk itu, marilah kita tingkatkan semangat berkarya dalam hal apa saja yang akan mendewasakan diri agar menjadi lebih bijak dan tentunya berkualitas untuk masa yang akan datang. Oleh sebab itu, jadilah seorang ”gladiator” masa kini! Sifat malas, penakut, dan tidak kreatif ada pada sebutan plagiator, karena sesungguhnya plagiator bukan ”gladiator”.

Minggu, 19 Desember 2010

Polemik RUU DIY

Oleh: Novrizal


Kemarin Pagi, saya mendapat informasi tentang pemberitaan status keistimewaan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Berita ini mencuat di saat berbagai media sedang menyorot tentang masalah baru kasus Gayus, yang dianggap sesukanya keluar-masuk penjara, dimana gambarnya yang ditangkap oleh kamera salah seorang fotografer, saat mengambil dokumentasi pertandingan tenis di Bali yang seharusnya dia mendekam ditahanan. Sangat miris karena hukum dianggap dapat diperjualbelikan di negeri ini.
Menyangkut status provinsi DIY, maklumat tertanggal 5 September 1945 yang kemudian dikukuhkan dengan Piagam Kedudukan Presiden Republik Indonesia tanggal 6 September 1945 menyatakan integrasi Yogyakarta ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memilih status keistimewaan. Selanjutnya, problematika yang harus dijawab adalah posisi gubernur yang identik ke-sultan-an.
Setiap gubernur merupakan salah satu entitas politik dalam ranah ke-pemerintahan. Bagi wilayah DIY, gubernur tidak hanya sebatas entitas politik melainkan sebagai entitas budaya dimana kearifan lokal tidak harus dilupakan, bahwa hal itu memiliki sosio historical yang berabad-abad sejak mulanya kerajaan Mataram hingga saat ini, yang dapat dijadikan suatu cagar budaya agar tradisi keraton dan ke-sultan-an tidak ditelan oleh RUU yang dimaknai oleh masyarakatnya akan dilakukan pemilihan suatu jabatan kepala daerah melalui mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat yang disebut sesuatu hal yang bersifat demokrasi.
Jadi, bagaimana jika polemik RUU tentang keistimewaan provinsi DIY yang dimunculkan oleh pemerintah memiliki landasan ilmiah dalam penentuan kebijakan untuk melakukan pemilihan gubernur dan jenjang jabatan di bawahnya? Apakah melalui mekanisme yang disebut demokrasi itu menjamin kesejahteraan rakyat DIY?
Polemik DIY yang muncul, agaknya terlalu meta konstitusi yang menginginkan suatu demokrasi yang harus perfectionist dalam NKRI. Bahkan masyarakatnya itu sendiri seakan-akan menganggap sistem monarki di DIY merupakan sistem tradisi suatu wilayah yang memiliki kerajaan utuh yang telah berintegrasi dengan pemerintah NKRI, dimana status sebagai sultan dan dimana status sebagai kepala pemerintahan daerah. Dalam hal itu, gubernur sendiri tidak lupa pada tanggung jawabnya kepada pemerintahan NKRI.
Pergeseran paradigma Gubernur Kepala Daerah (mazhab continental) sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat (dekonsentrasi) menjadi Gubernur (mazhab anglo saxon) sebagai pelaksana pemerintah daerah yang otonom (desentralisasi) pada level propinsi sering menjadi kacau/rancu dengan bupati/walikota yang sama-sama dipilih secara demokratis dan punya hak otonom pada level kabupaten/kota. Oleh karena itu Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai kontrak politik HB IX-PA VIII dengan Presiden RI (UU No 3/1950) masih konsisten terhadap amanat founding father bahwa Sultan sebagai Gubernur Kepala Daerah (Penguasa Daerah) ditetapkan Presiden dan memiliki hubungan secara langsung dengan pemerintah pusat sesuai asas dekonsentrasi, artinya Sultan & Adipati yang bertahta adalah kepala daerah atas wilayah kekuasaannya (daerah swapraja) sekaligus wakil pemerintah pusat dalam menjalankan pemerintahannya.

TARIF MURAH MERUPAKAN PELUANG INFORMASI

Oleh: Novrizal

Dalam era digital seperti ini kita dihadapkan dengan berbagai fasilitas teknologi, di antaranya adalah telekomunikasi. Hebatnya lagi ketika komunikasi menembus batas ruang dan waktu, tidak memerlukan aktifitas untuk beranjak dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, muncul berbagai perusahaan operator swasta yang mendominasi negeri ini. Di antaranya adalah Bakrie Telecom (Esia), XL Axiata (XL), Hutchison (3), Indosat (IM3, Matrix, Mentari, dan StarOne), Mobile-8 (Fren dan Hepi,) Natrindo (Axis), Sampoerna Telecom (Ceria), Smart Telecom (Smart), Telkom (Flexi), Telkomsel (Kartu AS, Kartu HALO, dan Simpati). Oleh karena negeri ini dibanjiri berbagai operator, maka Indonesia tercatat sebagai negara yang memiliki jumlah operator terbanyak di dunia.

Tarif Murah Merupakan Peluang Informasi
Jumlah pengguna seluler di Indonesia hingga Juni 2010 diperkirakan mencapai 180 juta pelanggan, atau mencapai sekitar 80 persen populasi penduduk. Dari 180 juta pelanggan seluler itu, sebanyak 95 persen adalah pelanggan prabayar. Menurut catatan ATSI, pelanggan Telkomsel hingga Juni 2010 mencapai 88 juta nomor, XL sekitar 35 juta, Indosat sekitar 39,1 juta, selebihnya merupakan pelanggan Axis, Three, Esia, dan lainnya. Dengan data tersebut, berarti rata-rata seluruh masyarakat di negeri ini adalah merupakan konsumen jasa operator telekomunikasi.
Dilansir dari berbagai sumber, pihak Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) menyatakan, tarif murah telekomunikasi yang diberikan oleh operator kepada masyarakat saat ini bisa dibilang bukan perang tarif, akan tetapi perang marketing. Jadi, tarif seluler saat ini merupakan strategi promosi dan "gimmick" marketing, serta belum merupakan tarif tetap. Mungkin bagi pengguna jasa operator seluler, tidak hanya mengharapkan tarif murah, tapi juga mengharapkan adanya peningkatkan kualitas pelayanan, seperti kualitas jaringan sehingga saat melakukan panggilan, internetan, dan berbagai fasilitas lainnya yang menyedot tarif, agar tidak terputus. Jangan karena biaya murah, maka kualitas ditinggalkan. Untuk itu, consitency-nya juga harus dijaga.
Dengan adanya tarif murah, masyarakat berpeluang untuk mencari dan meng-update informasi melalui fasilitasnya yang telah diberikan, karena pelanggan menganggap biaya untuk mencari informasi tidak terlalu besar. Oleh karena itu, tarif murah yang diberikan kepada masyarakat khususnya pelanggan operator seluler, akan mendapatkan wawasan serta tidak ketinggalan zaman, sehingga dapat lebih berpikir kreatif dengan mengakses setiap informasi yang didapat. Sumber tarif murah ini cukup berperan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia.

Program Baru
Membahas soal tarif murah, seluruh operator seluler telah bersaing untuk memikat konsumen agar lebih memercayai keuntungan-keuntungan dalam pemakaian produknya. Salah satu di antaranya telah diluncurkan tarif semurah tarif nelpon lokal untuk Singapura dan Hongkong, karena kedua negara itu merupakan pusat niaga dunia. Pada program ini, pelanggan bisa mendapatkan tarif roaming jauh lebih murah hingga 90 persen dari tarif reguler yang saat ini berlaku. Jika masyarakat, terutama pelanggannya yang membutuhkan layanan roaming internasional murah dan simple hitung-hitungannya, maka pelanggan dapat mengikuti program baru ini. Program ini berlaku mulai 1 Desember 2010 hingga 30 April 2011, ini akan dikenai tarif Rp 3.500 per menit untuk semua pelanggan XL, baik prabayar maupun pascabayar. Tarif tersebut berlaku untuk menelepon ke Indonesia maupun ke negara di mana pelanggan berada (nelpon lokal), juga menerima telepon. Untuk SMS pelanggan juga dikenakan Rp 3.500 per SMS. Dengan adanya layanan dan tarif yang murah, masyarakat Indonesia juga diberi kesempatan untuk mempermudah panggilan antar negara, sehingga koneksi lintas negara yang dibangun diperkirakan turut menunjang kualitas hidup masyarakat Indonesia.

Makna Sebuah “Akreditasi”

Oleh: Novrizal


“Kamu lulusan apa?” Tanya seorang manajer sebuah perusahaan terkemuka kepada pencari kerja, saat interview di ruangannya.
“Sarjana ekonomi, Pak! Di universitas yang terkenal di Medan!” Si pencari kerja menjawab dengan penuh rasa percaya diri.
“Apa saja keahlianmu? Bisa kamu sebutkan!”
”Hmm... Saya cuma dapat mengoperasikan komputer, tapi hanya program microsoft word, Pak! Saya akan berusaha untuk belajar menguasai keahlian lainnya!”
”Oh! kalau begitu, Saya beri kamu kesempatan untuk banyak belajar lagi...” Sesaat kemudian, Manajer tersebut berkata: ”Yaah, silahkan! Tunggu kabar selanjutnya dari kami!”
Jika diperhatikan dialog di atas, apakah ada makna yang terkandung di dalamnya? Apakah dialog tersebut biasa-biasa saja? Jawaban Anda benar, sepintas sepenggal dialog tersebut menunjukan suatu hal yang lumrah antara komunikator dan komunikan. Tulisan ini tidak menyoalkan subjek atau objek kalimatnya. Dan, pada dialog tersebut tidak bermaksud menyinggung sebuah gelar kesarjanaan, institusi terkenal, maupun sebuah perusahaan terkemuka. Terasa jelas sekali, ada sesuatu yang tersirat di dalamnya. Sekali lagi ditegaskan, pembahasan ini tidak sekedar memerhatikan kata-kata dalam dialog tersebut, tetapi hanya sekedar menyimpulkan makna sebuah ”akreditasi”.

Apakah Akreditasi itu?
Anda tahu, apakah akreditasi itu? Siapa yang pantas menyandang label itu? Baiklah! kalau begitu akan dijelaskan sedikit. Dalam kamus Bahasa Indonesia, akreditasi adalah sebuah pengakuan terhadap lembaga atau jawatan tertentu yang diberikan oleh badan yang berwenang agar memenuhi syarat pembakuan atau kriteria tertentu. Seringkas pengertian tersebut menunjukan, bahwa suatu lembaga dikatakan terakreditasi apabila memenuhi syarat dan kriteria tertentu, alias berkualitas. Lalu, bagaimana dengan ”akreditasi” yang dimaksud dalam tulisan ini? Tentu, pasalnya merujuk kepada istilah humanware.

Apa Itu Humanware?
Sebelum dapat disimpulkan, ada sedikit penjelasan tentang humanware. Apa itu humanware? Kenapa harus humanware? Kenapa tidak hardware atau software saja? Anda mungkin mengerti maksudnya atau Anda merasa tidak ada kaitannya sama sekali alias nggak nyambung. Jika seperti itu, agaknya perlu dituntaskan kekeliruan itu terlebih dahulu. Hardware dan software adalah perangkat keras dan lunak ciptaan manusia yang bisa diaplikasikan, yaitu melalui media program atau komputer. Istilah humanware di sini adalah perangkat manusia yang diciptakan Tuhan, memiliki akal, pikiran, perasaan, nafsu, serta kecerdasan yang tidak sama dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Sudah barang tentu kalau Tuhan memberikan suatu label ”akreditasi” kepada manusia, tidak hanya kecerdasan, hal-hal yang lainnya juga. Dalam hal ini, tidak mengulas sisi kecerdasan manusia, tetapi konteksnya adalah bagaimana Kita membangkitkan kesadaran agar dapat berpikir dan bertindak. Seperti otak dan akal, kita memilikinya. Oleh karena itu, jika otak dan akal saling berintegrasi akan menghasilkan sebuah pemikiran. Ketika melahirkan sebuah pemikiran, maka akan dihasilkan sebuah tindakan, dari tindakan akan terciptalah kebiasaan serta kemudian diperolehlah sebuah karakter. Jadi, barang siapa yang memiliki kesadaran, maka ia akan berpikir dan bertindak secara sehat hingga membentuk karakter yang baik, komponen seperti itulah yang harus dibangun agar mencapai tingkatan label ”akreditasi” itu.
Tuhan memberikan kita suatu eksistensi di dunia ini dengan pelbagai ilmu. Sebuah ilmu tampak karena pengetahuan, pengetahuan muncul karena proses berpikir. Tidak salah ketika ada ungkapan “Aku berpikir maka aku ada” dari seorang pemikir terdahulu. Oleh karena itu, suatu keberadaan itu tampak selama adanya kesadaran sebagai stimulus proses berpikir, yang mewujudkan tindakan yang positif. Sebagai manusia sudah seharusnya bangga terhadap label yang telah diberikan itu. Lalu, apakah hanya sebatas bangga saja, kemudian manusia itu dapat berleha-leha kesana-kemari? Tentunya tidak sama sekali, ”akreditasi” yang telah disandang tidak serta-merta ditempel begitu saja, itu merupakan sebuah anugerah. Akan tetapi, apakah Kita telah menunjukannya? Mungkin Anda tahu jawabannya. Ada sebuah tantangan, cobalah Kita memproyeksikan diri masing-masing sebagai orang yang ”terakreditasi” itu! Apa yang akan Kita lakukan...?
Kembali lagi pada pembahasan awal dalam sebuah penggalan dialog sebelumnya. Saat interview seorang manajer menolak secara halus, bahwa si pencari kerja itu tidak memenuhi kualifikasi yang dia inginkan. Jadi, apanya yang salah? Si pencari kerja itu lulusan dari universitas terkenal, sudah pasti universitasnya terakreditasi baik. Lalu, kenapa dia ditolak? Hal itu tidak mendeskripsikan label yang ada padanya.

Bukan Lembaga atau Pujian Orang Lain
Si pencari kerja merupakan humanware, dia lulusan universitas yang terakreditasi baik, tapi dia tidak menunjukan “akreditasi” yang baik pada dirinya. Sangat disayangkan, saat duduk di bangku perkuliahan dia tidak memperoleh apa-apa. Tidak hanya di bangku perkuliahan yang secara teoritis saja, di luar daripada itu pun seharusnya dia memperoleh apa-apa tapi kenyataanya masih diragukan. Maka dari itulah, muncul pertanyaan apa sebenarnya makna sebuah “akreditasi” tersebut. Untuk itu, marilah Kita bersama-sama membuktikannya pada diri masing-masing dengan cara belajar, berkarya, berpikir kreatif, melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk kedepannya melalui tindakan nyata dan tidak lupa berdoa. Janganlah bersikap mengeluh dan menyalahkan, dari keinginan yang tidak bisa diperoleh dalam hidup, tapi syukurilah apa-apa yang telah didapatkan. Akan tetapi, semua itu terlepas kepada penilaian empunya badan. Jadi, kesimpulannya adalah makna sebuah ”akreditasi” bukan terletak pada sebuah lembaga ataupun pujian orang lain, akan tetapi sejatinya dibuktikan oleh diri sendiri. Lalu, bagaimanakah dengan Anda?