Entri Populer

Minggu, 19 Desember 2010

Polemik RUU DIY

Oleh: Novrizal


Kemarin Pagi, saya mendapat informasi tentang pemberitaan status keistimewaan provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Berita ini mencuat di saat berbagai media sedang menyorot tentang masalah baru kasus Gayus, yang dianggap sesukanya keluar-masuk penjara, dimana gambarnya yang ditangkap oleh kamera salah seorang fotografer, saat mengambil dokumentasi pertandingan tenis di Bali yang seharusnya dia mendekam ditahanan. Sangat miris karena hukum dianggap dapat diperjualbelikan di negeri ini.
Menyangkut status provinsi DIY, maklumat tertanggal 5 September 1945 yang kemudian dikukuhkan dengan Piagam Kedudukan Presiden Republik Indonesia tanggal 6 September 1945 menyatakan integrasi Yogyakarta ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memilih status keistimewaan. Selanjutnya, problematika yang harus dijawab adalah posisi gubernur yang identik ke-sultan-an.
Setiap gubernur merupakan salah satu entitas politik dalam ranah ke-pemerintahan. Bagi wilayah DIY, gubernur tidak hanya sebatas entitas politik melainkan sebagai entitas budaya dimana kearifan lokal tidak harus dilupakan, bahwa hal itu memiliki sosio historical yang berabad-abad sejak mulanya kerajaan Mataram hingga saat ini, yang dapat dijadikan suatu cagar budaya agar tradisi keraton dan ke-sultan-an tidak ditelan oleh RUU yang dimaknai oleh masyarakatnya akan dilakukan pemilihan suatu jabatan kepala daerah melalui mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat yang disebut sesuatu hal yang bersifat demokrasi.
Jadi, bagaimana jika polemik RUU tentang keistimewaan provinsi DIY yang dimunculkan oleh pemerintah memiliki landasan ilmiah dalam penentuan kebijakan untuk melakukan pemilihan gubernur dan jenjang jabatan di bawahnya? Apakah melalui mekanisme yang disebut demokrasi itu menjamin kesejahteraan rakyat DIY?
Polemik DIY yang muncul, agaknya terlalu meta konstitusi yang menginginkan suatu demokrasi yang harus perfectionist dalam NKRI. Bahkan masyarakatnya itu sendiri seakan-akan menganggap sistem monarki di DIY merupakan sistem tradisi suatu wilayah yang memiliki kerajaan utuh yang telah berintegrasi dengan pemerintah NKRI, dimana status sebagai sultan dan dimana status sebagai kepala pemerintahan daerah. Dalam hal itu, gubernur sendiri tidak lupa pada tanggung jawabnya kepada pemerintahan NKRI.
Pergeseran paradigma Gubernur Kepala Daerah (mazhab continental) sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat (dekonsentrasi) menjadi Gubernur (mazhab anglo saxon) sebagai pelaksana pemerintah daerah yang otonom (desentralisasi) pada level propinsi sering menjadi kacau/rancu dengan bupati/walikota yang sama-sama dipilih secara demokratis dan punya hak otonom pada level kabupaten/kota. Oleh karena itu Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai kontrak politik HB IX-PA VIII dengan Presiden RI (UU No 3/1950) masih konsisten terhadap amanat founding father bahwa Sultan sebagai Gubernur Kepala Daerah (Penguasa Daerah) ditetapkan Presiden dan memiliki hubungan secara langsung dengan pemerintah pusat sesuai asas dekonsentrasi, artinya Sultan & Adipati yang bertahta adalah kepala daerah atas wilayah kekuasaannya (daerah swapraja) sekaligus wakil pemerintah pusat dalam menjalankan pemerintahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar