Entri Populer

Senin, 01 November 2010

Derma Sang Rakyat Untuk Si Korban

Oleh: Novrizal


Kala itu cucuran air mata tertumpah dihamparan bumi ibu pertiwi. Jeritan, raungan dan juga penuh dengan sesak manusia yang berlalu-lalang untuk menyelamatkan hidup yang diambang takdirnya. Gemuruh dan terjangan air bah yang menghempas setiap lereng desa, tidak kalah pula goncangan dahsyat dimana isi perut bumi dimuntahkan sehingga menebarkan gumpalan awan panas yang mematikan. Lalu, duka pun membelenggu tanah air beta.
Uluran demi uluran tangan berdatangan hanya sekedar menghampiri korban bencana alam. Kenapa tidak? Penantian uluran tangan yang dirasakan hanyalah masalah waktu, harapan dan doa kepada pemilik alamlah yang dapat memberikan ketenangan batin. Sikap simpatik dan empati telah dicontohkan sang pemimpin kepada jajaran serta rakyatnya. Namun demikian, apakah itu yang mereka butuhkan? Ibarat kata sabar, mudah diucapkan walau terkadang sulit untuk melakukannya jika dihadapkan dengan masalah yang sama.
Seharusnya kejadian yang sama secara berulang-ulang telah dapat mengajari kita mengambil langkah yang tepat untuk mengurangi resiko korban bencana semaksimal mungkin. Berbagai simulasi telah dilakukan, namun masih tetap juga menjadi pemikir yang reaksioner dalam mengatasi masalah. Dalam hal ini, kita tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, hanya saja hati nurani yang dapat mengimbanginya.
Tidak sedikit berbagai lembaga dan organisasi baik dikalangan masyarakat maupun mahasiswa untuk mendirikan posko-posko bantuan bencana dan ada pula yang turun ke lapangan dengan menunjukan rasa solidaritas antar makhluk sosial. Lantas, haruskah si ”korban” memberikan bantuan kepada si korban bencana? Tentu harus, walau nilainya sekecil apapun. ”Korban” adalah rakyat yang sedang menyelamati perekonomian keluarganya masing-masing, dari sistem pemerintah yang terkadang abu-abu cukup bijaksana dengan memberikan bantuan untuk para korban bencana alam. Lalu, bagaimana dengan para pejabat di wilayah itu? Tidak ada wakil yang lebih tinggi dari ketuanya, tidak ada wakil presiden yang lebih tinggi dari presidennya, lalu bagaimana dengan wakil rakyatnya? Apakah bisa disamakan?
Tak heran, para leluhur kita menurunkan sikap budi pekerti dan saling tolong-menolong antar sesama kepada generasinya. Adakah kita secara pribadi bersikap seperti demikian? Tanyakan pada hati kecil kita masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar